Skip to main content

Lika-liku Hati


Aku berjalan dengan langkah gontai. Rasanya kaki ini menjadi makin rapuh seiring bertambahnya usiaku. Kulitku yang keriput seakan bosan melindungi tubuhku yang sekarang tak berguna, sehingga panas yang menyengat terasa menembus langsung ke tulangku. Dengan hati-hati aku berjalan menuju sekumpulan motor dan mobil di perhentian lampu merah. Tanganku terjulur di hadapan mereka sambil bergetar karena lelah, wajah yang memelas menjadi penyempurna pekerjaanku.

Sejenak langkahku terhenti, ketika seorang lelaki, tengah berlari kencang, menabrakku. Tubuh lelaki itu langsung tersungkur menabrak tiang rambu lalu lintas, seperti tak merasakan sakit, ia segera bangkit dan tergesa-gesa berlari menjauh. Sesuatu terjatuh dari balik bajunya. Ternyata sebuah dompet kulit. Langsung saja aku mengambil dompet itu dan memanggilnya namun ia sudah terlalu jauh.

“Copeeeeetttt!” entah darimana asal suara tersebut, tiba-tiba saja sekelompok massa sudah berkerumun dan mengepungku.

Tanpa basa basi dompet kulit di tanganku direbut oleh salah satu dari mereka. Yang lainnya memakiku dan mengarahkan kepalan tangan ke perutku. Pertama mereka memukuliku sampai aku meringkuk. Lalu kaki-kaki mereka mulai menendangku dengan ritme cepat. Aku memohon ampun. Tapi suaraku yang parau tidak mampu menantang teriakan dan makian mereka.
“Sudah hentikan!” teriak seseorang dengan lantang.

Pandanganku buram. Seluruh tubuhku sakit. Hingga aku tidak dapat menangkap sosok yang menembus kerumunan itu. Seketika aku pasrah. Membiarkan semuanya menjadi gelap. Dan suara itu masih tertangkap oleh pendengaranku yang mulai terganggu. Suara seorang wanita.

****

Rupanya cukup lama aku tidak sadarkan diri. Ketika aku membuka mata, hari sudah menjelang petang. Namun, aku tak tahu dimana diriku berada. Kini aku berada di atas ranjang empuk di dalam sebuah kamar yang terlalu luas untuk ukuranku. Bahkan lebih luas dari rumah gubuk yang hampir sepuluh tahun aku huni.

Perlahan aku bangkit, mencari tahu dimana aku sekarang berada. Perhatianku kini tertuju pada deretan foto yang terpajang di dinding kamar. Kulihat satu persatu wajah-wajah dalam foto tersebut. Mataku terhenti pada salah satu foto.

“Dok dok dok,” tiba-tiba saja pintu diketuk lalu seorang wanita paruh baya masuk kedalam ruangan, sambil membawa pakaian dan makanan. “Kata Nyonyah, bapak silahkan mandi dan ganti pakaian lalu makan seadanya. Bapak jangan pergi dulu. Sebentar lagi Nyonyah pulang,” kata wanita itu.
Aku masih belum bisa merangkai kejadiannya yang terlewati. Setelah aku dipukuli. Bagaimana bisa aku berada disini? Dan Nyonyah? Siapa yang dia maksud dengan Nyonyah?

Sudah sepuluh tahun aku berada di kota besar ini. Tanpa sanak saudara atau pun teman. Aku berangkat dari desa di kaki bukit menuju tempat dimana aku berharap dapat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk anakku. Tapi aku tersesat. Atau lebih tepatnya menyesatkan diri karena malu.
“Bapak belum makan?”
Aku tersentak. Kaget melihat seorang wanita yang tiba-tiba hadir di hadapanku. Wanita yang elegan, cantik, ramah, dan berusia sekitar 20-an. Suaranya sangat aku kenal. Tapi tidak mungkin! Suara itu baru aku dengar tadi siang. Dia yang menolongku dan membawaku kesini.
“Pak..” sekali lagi wanita itu memanggilku. Aku hanya mengangguk, sebagai satu jawaban. Sedari kemarin malam aku belum makan sesuap nasipun. Perutku hanya terisi segelas teh hangat pemberian kuli bangunan di lokasi proyek dekat gubugku.

“Tunggu sebentar ya Pak. Makanan sedang disiapkan Bibi. Silahkan istirahat dulu kalau masih sakit”
Wanita itu lalu keluar dari kamar ini. Mataku mengikuti langkah demi langkah wanita itu. Aku mencoba mengingat-ingat, menelusuri masa laluku. Barangkali saja aku pernah mengenalnya. Tapi rupanya aku tak menemukan jawabnya meskipun kata hatiku mengatakan wanita ini seperti sudah lama kukenal.

Aku kembali berdiri meraih pakaian bagus yang sudah disiapkan di dekat ranjangku. Aku melangkah menuju kamar mandi yang terletak di sudut kamar. Kamar mandi yang begitu mewah bahkan lebih bagus dari kamar mandi milik pak lurah di kampungku dulu. Lantainya dari batu alam tapi tidak licin seperti rumahku di kampung dan ada cermin besar di salah satu dindingnya. Akupun mendekati cermin besar itu memandangi diriku dan baru kusadari hampir sepuluh tahun aku tak pernah memandang cermin. Kupandangi wajah kusut, kurus, berkumis dan berjenggot tebal. “Apakah ini benar-benar diriku?” aku masih tak percaya dengan bayanganku sendiri.

Usia bayanganku di dalam cermin jauh lebih tua dariku. Belum lagi dihiasi lebam-lebam dan darah kering di ujung bibirku. Bola mataku sama sekali tidak bercahaya seperti dulu. Air mukaku sangat keruh. Tidak memancarkan sinar bahagia seperti dulu. Tidak seperti saat aku bermain bersama anakku. Dan merangkai mimpi-mimpi indah yang aku yakin akan terwujud di kota ini.
“Aku merindukanmu nak…” rintihku hingga sesuatu mengalir di pipiku. Basah. Dan rasanya semakin sesak. Tubuhku bergetar dan aku benar-benar menangis.
Kekayaan. Hanya itu yang aku inginkan untuk anakku. Aku ingin membuatnya bahagia dengan membelikan semua yang dia pinta. Dan istriku, dia tidak perlu lagi berjualan di pasar. Dia tidak akan lagi digoda bahkan diancam oleh preman-preman pasar. Aku… sangat ingin menempatkan mereka di istana. Bukan di rumah mungil di sisi sawah.

Sejenak aku tersadar. Aku sedang berada di rumah mewah. Rumah seseorang yang kaya dan juga sangat baik. “Apakah aku bisa membawakan semua ini pada anakku?”

*****
“Mari langsung dimakan saja pak !” kata wanita cantik yang kuduga sebagai pemilik rumah ini.
“Terima kasih mbak,” jawabku sambil menundukkan kepala. Ada beragam menu makanan yang sudah disajikan di hadapanku. Semuanya nampak lezat. Ada ayam goreng, sup, sambal, tahu, tempe dan makanan asing yang belum pernah kumakan. Ingin rasanya mencoba satu demi satu makanan tersebut.

Menu pertama yang kuraih adalah ayam goreng. Aku mengambil satu potongan ayam besar, bagian paha. Perlahan-lahan potongan paha tersebut sudah sampai di mulutku dan ada diantara gigiku. Rasa dagingnya benar-benar empuk dan gurih. Namun tiba-tiba saja aku kembali teringat anak semata wayangku.

Masih jelas tergambar dalam ingatanku, saat ia hanya bisa memandang seorang anak yang tengah menikmati ayam goreng di warung dekat kantor kecamatan. Betapa hatiku rasanya seperti teriris-iris, saat melihat anak itu dengan gampangnya membuang satu potongan ayam, yang baru dimakan sedikit, dan diam-diam aku memulung potongan tersebut. Potongan itupun kubersihkan dan kubawa pulang buat anakku. Waktu itu aku sangat terharu melihat anakku melahap potongan ayam tersebut tanpa tahu itu sebenarnya sisa orang.

Sambil melahap makanan, aku memperhatikan suasana di rumah ini. Hingga saat ini, aku hanya melihat wanita cantik dan seorang pembantunya. Kuamati berbagai perkakas dan barang yang ada di sekitar ruang makan. Niat burukku muncul lagi.

Aku mengenyahkan rencana-rencana jahat di kepalaku. Aku tidak mungkin melakukannya! Wanita ini sudah sangat baik. Meskipun kami baru bertemu sekali dan tidak saling mengenal, tanpa prasangka dia membawaku kesini. Membiarkanku menikmati kemewahannya.
Daging ayam yang ku makan tersangkut di tenggorokan. Aku tersedak. Dengan panik wanita itu datang menyodorkan segelas air dan menepuk-nepuk punggungku.
“Makannya jangan terburu-buru pa,” katanya lembut. Suaranya… lagi-lagi suara itu mengingatkanku pada sesuatu yang terlupa.

“Nama mba siapa?” tanyaku memberanikan diri.
Wanita itu tersenyum ramah. Dia kembali duduk di depanku. “Oiaa.. saya lupa mengenalkan diri! Nama saya Sarah Amalia,” jawabnya sambil mengalihkan pandangan ke makanannya.
Sarah Amalia. Sarah Amalia… Nama yang benar-benar asing.
“Pak… besok saya akan pergi ke luar kota. Bapak boleh tinggal di sini dulu.”
“Tapi mbak,… bukannya kita baru kenal?”
Lagi-lagi dia tersenyum dan menjelaskan, “Saya tahu bapak. Saya sering melihat bapak di perempatan. Dan bapak tinggal di dekat lokasi proyek Ayah saya. “
“Ayah anda tinggal disini?”
Dia terdiam. Matanya menatap nasi yang dipermainkan dengan sendoknya. Ekspresinya seketika berubah. Dia sedih.
“Apakah ayah anda lelaki dalam foto di kamar tadi?” tanyaku ingin tahu.
Dia tak bersuara. Hanya mengangguk mengiyakan.
“Astaga,” apakah lelaki misterius yang sering membawa makanan ke gubugku adalah orang dalam foto itu. Lelaki yang seminggu terakhir tak pernah muncul lagi.
“Heri,” tiba-tiba saja keluar nama itu dari mulutku.
“Benar, itu nama ayah saya,”
****
Setahun lalu aku bertemu seorang lelaki usianya mungkin seumuran denganku di sebuah stasiun KRL di tengah kota. Waktu itu ia nampang bingung, mondar-mandir dan hampir saja mengakhiri nyawanya di rel kereta api. Untung saja aku melihat lelaki itu dan mampu membujuk di urungkan niatnya.
“Percuma saja saya hidup. Sebentar lagi virus ini bakal mengakhiri hidup saya. Perkiraan dokter usia saya tinggal sebulan lagi,” kata lelaki itu sambil terisak. Ia begitu putus asa, tak kuat menghadapi cobaan hidupnya.
Sejak perjumpaan yang kebetulan itu lelaki yang akhirnya kuketahui bernama Heri itu sering mampir ke gubugku. Biasanya dua hari sekali atau terkadang setiap sore sambil membawa sebungkus nasi padang dan gorengan. Lewat pertemuan demi pertemuan itulah kami akhirnya berkarib meskipun aku tak tahu asal usul dan dimana dia tinggal. Lagi pula dia selalu menghindar jika aku bertanya soal rumah dan keluarganya.
Seminggu lalu, itulah terakhir kali aku bertemu Heri. Ia sempat berpamitan, katanya bakal pergi ke suatu tempat yang jauh. Sejak saat itu ia tak pernah datang lagi.
****
Aku sedang berbaring di kasur empuk, tapi kenapa rasanya jadi sangat tidak nyaman. Aku tidak bisa menutup mataku. Aku terus mencari posisi yang tepat untuk terlelap. Tapi tetap saja rasanya seperti tidur diatas duri.
Aku benar-benar tidak menyangka kalau Heri telah tiada. Dan kini aku berada satu atap dengan anaknya. Dua orang yang sangat baik. Bahkan terlalu baik untuk menjadi bagian dalam hidupku. Aku tidak akan bisa sebaik Heri. Aku tidak bisa menggantikan posisi Heri!
Aku bangkit. Melihat kesekeliling. Terlintas dipikiranku untuk meminjam sesuatu di rumah ini hanya untuk ongkos pulang ke kampung. Aku berjanji akan mengembalikannya, setelah mengumpulkan uang dari hasil kerja menjadi petani dan membantu mengurus ternak tetangga. Aku sangat ingin pulang… Aku ingin kembali bersama keluarga kecilku yang semoga saja mereka masih mencintaiku seperti dulu.
Aku menuju lemari kayu jati yang berukir antik di kamar ini. Aku membukanya perlahan. Ragu karena perasaan bersalah kalah oleh hasratku untuk meminjam barang mereka. Tapi apa ini bisa disebut mencuri? Benarkah itu yang akan aku lakukan? Selama ini aku berusaha mempertahankan prinsipku untuk berlaku jujur dan tidak pernah berhutang, sekali pun dalam keadaan terdesak. Tapi saat ini entah kenapa… aku berpikir jika aku meminjam beberapa barang mereka itu tidak akan berpengaruh banyak. Mereka tidak akan langsung jatuh miskin kan?
Baju-baju bermerek dengan warna natural tertata dengan sangat rapih. Baju-baju ini mungkin punya Sarah. Dan ada kotak besar berwarna coklat di dalam lemari baju itu! Dengan tangan gemetar aku membuka perlahan. Ada sebuah foto. Wajah difoto itu sangat mirip dengan orang yang dulu sangat dekat denganku. Orang yang sangat aku cinta. Tapi benarkah ini? Sekarang aku tahu kenapa suara Sarah sangat akrab di telingaku. Dia mirip sekali dengannya. Istriku.
Lalu bagaimana dengan anakku?! Dia kemanakan anakku?!
Ah ini semua hanya perasaanku saja. Dia tetaplah Sarah bukan Saraswati istriku. Jika memang dia istriku tak mungkin penampilanya masih seperti itu. Dia lebih mirip wanita di usia 20 tahunan sedangkan istriku hanya selisih 5 tahun dari aku.
****
Bus antarprovinsi mengantar perjalanan pulangku ke kampung halaman. Sepuluh tahun sudah aku meninggalkan semuanya, rumahku, istriku, anakku. Ah seperti apa mereka sekarang. Setidaknya kini aku pulang tidak dengan tangan hampa ada banyak oleh-oleh buat anakku dan sedikit kejutan buat istriku. Aku akan memulai hidup baru di kampung, membuka warung kecil-kecilan untuk mencukupi semua kebutuhan keluargaku.
Ratusan kilometer meninggalkan ibukota, tetapi aku tak bisa lepas dari bayangan wanita itu. Dengan cara seperti inikah aku membalas kebaikan wanita itu? Dengan mencuri jam tangan dan cincin emas peninggalan Ayah wanita itu, Heri, orang yang selama ini terlalu baik buatku.
Ah peduli apa dengan wanita itu, dia sudah memiliki semuanya tentunya dia tak peduli jika hanya jam tangan dan cincin yang laku kujual seharga satu setengah juta di pasar. Aku hanya meminjam, ini semua terpaksa, sudah lama aku meninggalkan keluargaku. Aku janji nanti jika usahaku lancar bakal meminta maaf mengembalikan semuanya. Aku bukanlah pencuri dan orang yang tak tahu diri.
****
Akhirnya sampai juga aku di jalan kampungku. Aku menelusuri jalan menuju rumahku. Rupanya ada banyak kemajuan di sini, jalan yang dulu berupa batu-batu yang ditata kini sudah diaspal bagus. Aku terus melangkah. Tapi entah kenapa aku tak dapat menemukan rumahku padahal meski sudah sepuluh tahun aku masih hafal dan tak mungkin salah jalan. Di lokasi itu justru aku hanya menjumpai sebuah bangunan besar yang sekelilingnya diberi pagar tinggi. Di pintu depan ada seorang security yang menjaga, disana berdiri pabrik kulit.
Ketika tengah berjalan mondar-mandir seorang karyawan pabrik itu memanggilku. “Mas Adi..,” teriak lelaki itu.
Ternyata dia Yanto, tetanggaku dulu.
Yanto merangkulku, mengajaku duduk di sebuah warung kecil dekat pabrik. Sambil menikmati kopi dan gorengan kami berbincang-boncang dan tentunya aku bertanya keberadaan istri dan anakku.
“Dimana mereka saat ini Yan?”
Yanto tiba-tiba terdiam. Sambil menyeruput kopi panas, ia menarik nafas panjang. ” Sudah meninggal lima tahun lalu kena banjir bandang,”
“Apa,” kakiku tiba-tiba saja lemas, mataku berkaca-kaca, sambil memandang barang-barang hasil menjual jam dan cincin Ayah Sarah.

Jogja-Solo, Maret 2011

(81) Hana Sisworini + Fathoni Arief (duet Kemungkinan)
UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA FFK YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI BLOG Kampung Fiksi sbb: KampungFiksi@Kompasiana.

Berbagi takkan pernah membuatmu merugi

Comments