Skip to main content

Naik Pesawat Kapan Malamnya?



“Saya herannya ketika berangkat dari Bandara Soekarno Hatta hari sudah gelap. Namun ketika pesawat sudah terbang menuju Arab kok terang lagi. Ini kapan malamnya?” Cerita seorang bapak berusia 40 tahunan memulai perjalanan saya menuju Yogyakarta. Perlahan kereta meninggalkan stasiun Kediri menuju kota pelajar.

Hari sudah mulai gelap meskipun waktu jelang Maghrib masih sejam lagi. Memang cuaca tengah kurang bersahabat bagi orang yang sering bepergian dari satu tempat ke tempat lain seperti saya. Awan menggumpal-gumpal dan semakin tebal bahkan titik-titik hujan mulai berjatuhan ketika kereta api kelas Ekonomi Kahuripan menuju stasiun Kertosono.

Kereta Api kelas Ekonomi, sarana transportasi yang dulu sering menemani perjalanan saya menuju kampung halaman, Tulungagung, dan balik ke kota tempat mengasah daya nalar saya sebagai orang lebih mengerti, Yogyakarta. Kereta api kelas ekonomi menjadi pilihan utama saat itu bukan hanya tiadanya kelas bisnis yang melewati tempat saya tinggal namun sarana inilah yang paling ramah bagi kantong saya. Seorang mahasiswa dengan uang saku yang bisa dibilang pas-pasan. Pas buat hidup sehari-hari dan kebutuhan yang penting saja.

Kini bertahun-tahun setelah tak lagi tinggal di Yogyakarta kesempatan seperti ini menjadi momen untuk mengenang kembali masa silam. Hingga saat ini saya sudah pernah naik berbagai macam kereta api dari satu kota ke kota lain. Jika dulu hanya kelas ekonomi dan nyaris selama kuliah tak pernah tahu bagaimana rasanya kereta kelas eksekutif. Sekarang saya sudah merasakan semua mulai dari kelas ekonomi, bisnis hingga Eksekutif. Namun meskipun demikian diantara kelas yang ada naik Ekonomi selalu meninggalkan kesan dan pengalaman yang berbeda.

Berbeda dengan kelas-kelas yang lainnya. Di kelas ekonomi bisa saya temukan beragam manusia dengan berbagai karakter, kisah, kelas yang tak saya temukan ketika naik kereta kelas eksekutif. Untuk Kelas bisnis? Sesekali saja bila beruntung saya mendapatkannya.

Seperti saat ini saya duduk di bangku paling ujung berdekatan dengan kamar kecil. Bahkan kursi yang kini saya duduki membelakangi kamar kecil yang seadanya itu. Nampak kaca yang retak. Menurut cerita penumpang yang duduk di depan saya ini sisa-sisa kejadian pelemparan suporter Bonek tatkala melawat ke Bandung.

Kereta yang saya naiki adalah Kahuripan. Kereta yang berangkat dari stasiun Kediri dan berakhir di Bandung. Beruntung bagi penumpang yang naik dari Kediri. Meskipun kereta ini kelas ekonomi tetap ada nomor kursi. Jadi kursi yang ditempati sesuai dengan tiket yang dibeli. Itupun juga bisa memilih. Dari Kediri menuju Yogyakarta jika membeli tiket berdiri harganya Rp. 19000 sedangkan untuk mendapatkan kursi harus menambah Rp. 2000 lagi. Jika dihitung-hitung dari tempat saya,Tulungagung, saya hanya mengeluarkan uang tiket tak lebih dari Rp. 26000.

Dari stasiun awal duduk di depan saya dua orang lelaki. Lelaki yang tepat di depan saya menuju kota Tasikmalaya sedangkan di sampingnya turun di Madiun. Di samping saya adalah seorang teman saya yang kebetulan sempat main ke kota saya.

Tahukah apa yang membuka cerita-cerita kami hingga berlanjut ke cerita lain yang nampak tak ada ujungnya? Semua berawal dari cerita tentang ikan Koi. Ikan hias berasal dari negeri Sakura yang digemari karena keunikan corak pada punggungnya.

Sebagai pembuka perbincangan adalah lelaki di depan saya. Lelaki yang berusia 35an ini adalah seorang pedagang ikan hias. Beberapa hari yang lalu ia sengaja datang jauh-jauh dari Tasikmalaya menuju Blitar dan Tulungagung. Tujuannya tak lain mencari bibit ikan koi. Ikan-ikan tersebut menurutnya terdiri dari berbagai ukuran. Nantinya ikan-ikan tersebut dijual kembali.

Ia berkeliling untuk mendapatkan bibit terbaik. Bibit-bibit ikan tersebut ia angkut menggunakan truk. Sengaja ia menyewa truk dari Tulungagung untuk mengirim ikan-ikan tersebut ke Tasikmalaya. Ia sendiri pulang terpisah dengan menggunakan kereta api. Baru pertama kali ini ia naik Kahuripan menuju Tasikmalaya.

Kuliah gratis tentang perikanan ini berakhir ketika lelaki di sampingnya berkisah tentang anak dan keluarganya. Saya dan rekan hanya manggut manggut menjadi pendengar setia. Bermula tentang kisah biaya untuk menyekolahkan anaknya cerita kembali bergeser ke kisah yang lebih menarik lagi. Ia mulai bercerita pengalaman menjadi TKI di Arab Saudi. Kali ini ia benar-benar sebagai pembicara utama alias key note speaker.

Kereta terus berjalan. Satu demi satu stasiun disinggahi. Penumpangpun mulai memenuhi seluruh rangkaian kereta Api Kahuripan ini. Pemandangan lain yang setiap saat nampak adalah pedagang asongan yang menawarkan barang dagangannya. Mereka berjualan mulai dari minuman, alat-alat sehari-hari, makanan dan masih banyak lagi. Selain mereka nampak awak kereta yang menawarkan minuman dan makanan. Profesi lain yang juga terlihat adalah tukang sapu. Mengenai tukang sapu ada sesuatu yang baru. Sekarang mereka mengenakan seragam. Nampaknya sudah dikoordinir dan resmi. Mereka tak lagi minta-minta uang receh pada penumpang.

Waktu terus saja berjalan. Seperti senter yang batterainya masih baru mampu menyala terang. Begitu juga dengan lelaki mantan TKI tersebut. Kisah demi kisah seakan tak ada habisnya. Selesai satu kisah ada lagi kisah lain. Nyaris kami bertiga hanya sebagai pendengar setia. Ia berkisah tentang majikannya, tentang ekseskusi mati Saddam Husein yang disiarkan langsung di sebuah stasiun televisi, tentang hukum potong tangan, tentang kaos dari Arab yang membuat ia terheran-heran karena tak ada jahitan di sisi samping. Satu lagi yang sempat membuat saya ingin tertawa dan menahannya adalah ketika ia bercerita pengalamannya naik pesawat.

“Saya herannya ketika berangkat dari Bandara Soekarno Hatta hari sudah gelap. Namun ketika pesawat sudah terbang menuju Arab kok terang lagi. Ini kapan malamnya?”

Ternyata bukan kami bertiga saja pendengar setianya. Penumpang di bangku seberang dan ibu-ibu di sisi pojok secara tak sadar juga mendengar semua kisah lelaki itu.

Benar, waktu berjam-jam menuju Jogja serasa cepat. 5 jam perjalanan dari Kediri menuju Yogyakarta serasa 2 jam saja. Keretapun berhenti di Stasiun Lempuyangan. Setelah hampir 3 tahun meninggalkan Jogja baru kali ini saya menjejakkan kaki di sini. Ada sesuatu yang baru. Stasiun ini telah direnovasi menjadi lebih bagus tampilannya dibanding sebelumnya.

Perjalanan dengan kereta api kelas ekonomi memang selalu meninggalkan kesan. Termasuk pengalaman saya hari ini.

Catatan Perjalanan 2008

Fathoni Arief

What A Wonderful World (Luis Amstrong)

Comments

cari tiket said…
belon pernah naik pesawat malam..